Landasan Filosofis Pendidikan
Pendidikan merupakan topik yang
senantiasa menarik untuk dikaji dan dikembangkan, baik secara teoritis dan
praktis maupun secara filosofis. Teori dan praktik dalam dunia pendidikan
mengalami perkembangan seiring dengan semakin meningkatnya peradaban manusia.
Kalau dahulu pendidikan dapat berlangsung melalui interaksi antara manusia, di
zaman modern ini pendidikan dapat berlangsung melalui interaksi dengan
teknologi. Dalam hal ini, ruang dan waktu seolah tidak lagi menjadi pembatas
dalam interaksi antara manusia termasuk dalam dunia pendidikan.
Realitas dalam abad ke-20,
pendidikan seolah terjerembab dalam ketersesatan lembaga penyelenggara
pendidikan yang menggunakan pola pikir linier dan arogansi dalam memetakan masa
depan (Harefa, 2000). Pendidikan terutama diorientasikan untuk mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan dalam menjalankan tugas
professional dan tugas-tugas lain dalam kehidupan. Namun, Seiring gencarnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pendidikan pun mengalami
perkembangan yang pesat. Sebagaimana adanya, perkembangan dalam dunia
pendidikan terinspirasi melalui semakin meningkatnya kesadaran eksistensial
praktisi dan pemikir pendidikan yakni hakekat diri sebagai manusia.
Pendidikan sebagai ilmu bersifat
multidimensional baik dari segi filsafat (epistemologis, aksiologis, dan
ontologis) maupun secara ilmiah. Teori yang dianut dalam sebuah praktek
pendidikan sangat penting, karena pendidikan menyangkut pembentukan generasi dan
semestinya harus dapat dipertanggungjawabkan. Proses pendidikan merupakan upaya
mewujudkan nilai bagi peserta didik dan pendidik, sehingga unsur manusia yang
dididik dan memerlukan pendidikan dapat menghayati nilai-nilai agar mampu
menata perilaku serta pribadi sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, dalam
wacana keindonesiaan pendidikan semestinya berakar dari konteks budaya dan
karakteristik masyarakat Indonesia, dan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia
yang terus berubah. Menurut Kusuma (2007), hal ini berarti bahwa sebaiknya
pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung
jawab secara rasional, sosial dan moral.
Menurut Wen (2003), di zaman yang
berbeda-beda tuntutan terhadap talenta dan spesialisasi individu juga
berbeda-berbeda. Zaman agrikulutur menuntut orang bekerja keras dan mencari
nafkah lewat kerja fisik, zaman industri menuntut standarisasi dan tidak
menekankan kualitas dan talenta individual, dan zaman internet adalah zamannya
untuk membebaskan kualitas-kualitas khusus individual yang seringkali tertindas
di zaman industri. Oleh karena itu, seharusnya sifat dan kualitas pendidikanpun
berubah sesuai zaman dan harus diletakkan landasan bagi pendidikan beraspek
multi.
Berbicara tentang landasan filosofis
pendidikan berarti berkenaan dengan tujuan filosofis suatu praktik
pendidikan sebagai sebuah ilmu. Oleh karena itu, kajian yang dapat dilakukan
untuk memahami landasan filosofis pendidikan adalah dengan menggunakan
pendekatan filsafat ilmu yang meliputi tiga bidang kajian yaitu ontologi,
epistimologi dan aksiologi. Menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2005), landasan
filosofis bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan,
menyangkut keyakinan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai,
hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan.
Pembahasan tentang landasan filosofi
pendidikan dalam tulisan ini, disajikan dalam 4 seri tulisan, yaitu:
- Landasan Filosofi Pendidikan (1)
- Perspektif Epistimologi Penyelenggaraan Pendidikan (2)
- Perspektif Ontologi Penyelenggaraan Pendidikan (3)
- Perspektif Aksiologi Penyelenggaraan Pendidikan (4)
Landasan Filosofis Pendidikan Umum
Menurut Endang Saifuddin (1987 ; 96)
terdapat banyak aliran-aliran penting dalam etika, minimal ada enam aliran :
1. Aliran Etika Naturalisme ialah
aliran yang beranggapan bahwa kebahagian manusia itu didapatkan dengan
menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia itu sendiri.
2. Aliran Etika Hedonisme ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan).
3. Aliran Etika Utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi manusia (utility : manfaat).
2. Aliran Etika Hedonisme ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan).
3. Aliran Etika Utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi manusia (utility : manfaat).
4. Aliran Etika idealisme ialah aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
5. aliran Etika Vitalisme ialah yang menilai baik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
6. Aliran Etika Theologis ialah aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidak sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos = Tuhan).
Berdasarkan uraian tersebut diatas dari ke enam aliran tentang etika yang paling mendasari dalam kehidupan manusia di dunia ini adalah etika Theologis, karena manusia sebagai makhluk ciptaan Allah harus yakin bahwa kehidupan di dunia ini merupakan kehidupan sementara dan akan mengalami suatu kehidupan yang kekal dan abadi di akhirat kelak. Apabila melihat jumlah penduduk Indonesia adalah suatu bangsa yang menganut Agama Islam sebanyak 90% lebih, ini memberikan suatu jaminan bahwa pola hidup bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang Islami dengan tata nilai-moral-norma yang Islami pula. Namun kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia sekarang sangat jauh dari kehidupan yang Islami ini, dan ini adalah suatu tugas Pendidikan Umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan Umum (pendidikan nilai) sangat diperlukan sekali dengan kondisi kehidupan bangsa seperti ini. Ada satu hal yang perlu dikaji disini menurut Shri Krishna Saksena mantan ketua departemen of philosophy di Hindu College, Delhi, mengawali tulisan beliau berjudul ”Kedudukan filsafat desawa ini” (E. Saefuddin, 1987 ; 107) dikatakan bahwa: Pengetahuan filsafat tidak menghasilkan keyakinan oleh karena alat filsafat untuk tugas tersebut tidak mencukupi. Satu-satunya alat yang dipergunakan oleh filsafat ialah akal. Sedangkan akal merupakan hanya satu bagian dari rohani manusia dan tidaklah mungkin tuan mengerti suatu keseluruhan dengan suatu bagian. Tuan akan bertanya kepada saya, ”Jika seandainya akal bukan merupakan alat filsafat yang tepat, alat apakah yang mesti dipergunakan ? juga terdapat banyak kesulitan dengan intuisi”. Jawaban saya terhadapnya ialah keseluruhan kebenaran bisa diketahui dengan keseluruhan rohani manusia – perasaaannya, akalnya, intuisinya, pikirannya, nalurinya, pendeknya seluruh kehadirannya. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keseluruhan kebenaran tidak selamanya menggunakan akal, akan tetapi keseluruhan kebenaran bisa diketahui dengan keseluruhan rohani manusia-perasaannya, akalnya, intuisinya, pikirannya, nalurinya, pendeknya seluruh kehadirannya. Imam Bukhori Muslim mengatakan ”Ad –dinu huwal ’aqlu laa diina liman laa ’aqla lahu”. Yang artinya Agama itu adalah akal, tiada agama bagi yang tidak berakal. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberikan kelebihan dari makhluk lainnya yaitu akal, akan tetapi akal dalam kontek penggunaannya oleh manusia ada yang bersifat positif dan negatif, disinilah letak peranan Pendidikan Umum dalam membina manusia dalam hidup dan penghidupannya. H. Landasan Sosial – Kultural Pendidikan Umum Dalam kehidupan sosial budaya saat ini manusia sudah mengarah kepada kehidupan yang individualistis, yang tidak lagi bisa menghargai/menghormati orang lain, sekalipun itu adalah tetangganya sendiri atau saudaranya sendiri. Seolah-olah mereka tidak saling kenal, ini merupakan suatu gejala kehidupan yang mencolok dalam kehidupan kota, dan didesa pun sudah mulai nampak erat hubungannya dengan gejala urbanisasi – ialah bahwa cara bekerja, cara tradisional untuk memperoleh nafkah hidup berubah secara individualistis. Perubahan-perubahan dalam lingkungan hidup dan kerja itu disertai dengan perubahan dalam nilai-nilai budaya, moral, dan agama. Perubahan-peruabahan itu nampak juga dalam perilaku/sikap orangnya, misalnya bahwa penggunaan tatakrama dalam pergaulan sudah tidak dipakai lagi, anak-anak sudah banyak yang tidak menghargai lagi orang tuanya, berpindah-pindah agama, dan lain sebagainya. Franz Magnis (1986 : 22) mengatakan apa yang menyebabkan perubahan-perubahan sosial itu ? satu jawaban yang sering dikemukakan ialah bahwa semua itu disebabkan oleh suatu kemerosotan akhlak manusia. Jawaban ini pincang karena dua alasan : Pertama, belum pasti bahwa semua perubahan-perubahan itu harus diartikan sebagai kemerosotan, salah satu gejala positif misalnya adalah kesadaran yang semakin umum tentang martabat manusia (orang menonak hukum mati) dan hak-hak asasinya. Kedua, kalau memang ada kemerosotan moral, maka kemerosotan moral adalah akibat dan bukan sebab dari perubahan-perubahan sosial itu. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor pokok yang menyebabkan perubahan-perubahan sosial itu satu sama lain berkaitan erat, saling mendukung dan menunjang, seperti : pertambahan jumlah penduduk, pengaruh teknologi modern dan kekuatan. Kekuatan ekonomi internasional, lalu lintas komunikasi internasioan yang menghubungkan kita dalam waktu sekejap dengan semua daerah lain didunia, seluruh sistem pendidikan, dan lain sebagainnya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pendidikan Umum sangat perlu sekali disampaikan terhadap peserta didik, baik sebagai anggota keluarga, masyarakat, bangsa, dan warga negara yang baik ataupun dalam tingkat pendidikan dari mulai TK sampai dengan perguruan tinggi. Kejanggalan perilaku nilai-moral-norma sangat jelas dirasakan oleh kita dalam kehidupan manusia Indoensia saat ini. Menurut kerangka Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992 ; 28) semua sistem nilai – budaya dalam semua kebudyaan didunia itu, sebenarnya mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok itu adalah :
* Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH)
* Masalah mengenai hakekat dari karya manusia (selanjutnya disebut MK)
* Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disebut MW)
* Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (selanjutnya disebut MA)
* Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disebut MM)
Landasan
dan Asas-Asas Pendidikan serta Penerapannya
Pendidikan sebagai
usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak darisejumlah landasan
serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut
sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan
manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan tersebut
adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang
peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah
dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk mnjemput masa depan.
Bab III ini akan memusatkan paparan
dalam berbagai landasan dan asas pendidikan, serta beberapa hal yang berkaitan
dengan penerapannya. Landasan-landasan pendidikan tersebut adalah filosofis,
kultural, psikologis, serta ilmiah dan teknologi. Sedangkan asas yang
dikalia adalah asas Tut Wuri Handayani, belajar sepanjang hayat, kemandirian
dalam belajar.
A.
LANDASAN
PENDIDIKAN
1.
Landasan
Filososfis
a. Pengertian
Landasan Filosofis
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandanagan dalam
filsafat pendidikan, meyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan
tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih
baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai saat ini adalah Idealisme,
Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan Progresivisme dan
Ekstensialisme
1.
Esensialisme
Esensialisme adalah mashab pendidikan
yang mengutamakan pelajaran teoretik (liberal arts) atau bahan ajar esensial.
2.
Perenialisme
Perensialisme adalah aliran pendidikan
yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan,
cinta kepada kebaikan universal.
3.
Pragmatisme dan
Progresifme
Prakmatisme adalah aliran filsafat yang
memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan,
aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional.
4.
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah mazhab
filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor
perubahan masyarakat.
b. Pancasila sebagai
Landasan Filosofis Sistem Pendidkan Nasional
Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989
menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa
Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia,
pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia.
2.
Landasan
Sosiolagis
a. Pengertian Landasan Sosiologis
Dasar sosiolagis berkenaan dengan
perkembangan, kebutuhan dan karakteristik masayarakat.Sosiologi pendidikan
merupakan analisi ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial
di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiolagi
pendidikan meliputi empat bidang:
1.
Hubungan sistem
pendidikan dengan aspek masyarakat lain.
2.
hubunan
kemanusiaan.
3.
Pengaruh sekolah
pada perilaku anggotanya.
4.
Sekolah dalam
komunitas,yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial
lain di dalam komunitasnya.
b. Masyarakat
indonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Perkembangan masyarakat Indonesia dari
masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut
sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan
komplek.
Berbagai upaya pemerintah telah
dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama
dalam hal menumbuhkembangkan KeBhineka tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan
jalur sekolah (umpamanya dengan pelajaran PPKn, Sejarah Perjuangan Bangsa, dan
muatan lokal), maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4,
pemasyarakatan P4 nonpenataran)
3.
Landasan Kultural
a. Pengertian
Landasan Kultural
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai
hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan/ dikembangkan dengan
jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan
pendidikan, baiksecara formal maupun informal.
Anggota masyarakat berusaha melakukan
perubahan-perubahan yang sesuai denga perkembangan zaman sehingga terbentuklah
pola tingkah laku, nlai-nilai, dan norma-norma baru sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Usaha-usaha menuju pola-pola ini disebut transformasi kebudayaan.
Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi
kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga.
b. Kebudayaan sebagai
Landasan Sistem Pendidkan Nasional
Pelestarian dan pengembangan kekayaan
yang unik di setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari
kebineka tunggal ikaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini harsulah
dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara
indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.
4.
Landasan
Psikologis
a. Pengertian
Landasan Filosofis
Dasar psikologis berkaitan dengan
prinsip-prinsip belajar dan perkembangan anak. Pemahaman etrhadap peserta
didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci
keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan psikologis
sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan.
Sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan
sama kepada setiap peserta didik, sekalipun mereka memiliki kesamaan.
Penyusunan kurikulum perlu berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman
belajar yang akan dijadikan garis-garis besar pengajaran serta tingkat kerincian
bahan belajar yang digariskan.
b. Perkembangan
Peserta Didik sebagai Landasan Psikologis
Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat
penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan menemukan
keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu
secara efektif dan efisien.
5.
Landasan Ilmiah
dan Teknologis
a. Pengertian
Landasan IPTEK
Kebutuhan pendidikan yang mendesak
cenderung memaksa tenaga pendidik untuk mengadopsinya teknologi dari berbagai
bidang teknologi ke dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang
berkaitan erat dengan proses penyaluran pengetahuan haruslah mendapat perhatian
yang proporsional dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan hanya
berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar
IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Selanjutnya pendidikan akan dapat mewujudkan
fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.
b. Perkembangan IPTEK
sebagai Landasan Ilmiah
Iptek merupakan salah satu hasil
pemikiran manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang dimualai pada
permulaan kehidupan manusia. Lembaga pendidikan, utamanya pendidikan jalur
sekolah harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan iptek. Bahan
ajar sejogjanya hasil perkembangan iptek mutahir, baik yang berkaitan dengan
hasil perolehan informasi maupun cara memproleh informasi itu dan manfaatnya
bagi masyarakat
B.
ASAS-ASAS POKOK
PENDIDIKAN
Asas pendidikan merupakan sesuatu
kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan
maupun pelaksanaan pendidikan. Khusu s di Indonesia, terdapat beberapa asas
pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu.
Diantara asas tersebut adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar
Sepanjang Hayat, dan asas Kemandirian dalam belajar.
1.
Asas Tut Wuri
Handayani
Sebagai asas pertama, tut wuri
handayani merupakan inti dari sitem Among perguruan. Asas yang dikumandangkan
oleh Ki Hajar Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono
dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing
Madyo Mangun Karso.
Kini ketiga semboyan tersebut telah
menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu:
Ø Ing Ngarso Sung
Tulodo ( jika di depan memberi contoh)
Ø Ing Madyo
Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat)
Ø Tut Wuri
Handayani (jika di belakang memberi dorongan)
2.
Asas Belajar
Sepanjang Hayat
Asas belajar sepanjang hayat (life long
learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur
hidup (life long education). Kurikulum yang dapat meracang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan
horisontal.
Ø Dimensi
vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antar
tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa
depan.
Ø Dimensi
horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar
di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.
3.
Asas Kemandirian
dalam Belajar
Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini
mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur
tangan guru, namun guru selalu suiap untuk ulur tangan bila diperlukan.
Perwujudan asas kemandirian dalam
belajar akan menempatkan guru dalamperan utama sebagai fasilitator dan
motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang dalam melatih
kemandirian belajar peserta didik adalah sitem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).
5.
Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan ialah hasil
pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar - akarnya mengenai
pendidikan agar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap,
berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang
dominan di dunia ini. Aliran itu ialah:
1. Esensialisme
2. Parenialisme
3. Progresivisme
4. Rekonstruksionisme
5. Eksistensialisme
Filsafat
pendidikan Esensialis bertitik
tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad - abad lamanya. Kebenaran
seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan
saja. Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika.
Filsafat
pendidikan Parenialis tidak jauh
berbeda dengan filsafat pendidikan Esensialis. Kalau kebenaran yang esensial
pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka
kebenaran Parenialis ada pada wahyu Tuhan. Tokoh filsafat ini ialah Agustinus
dan Thomas Aquino.
Filsafat
pendidikan Progresivisme mempunyai
jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata.
Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu
bersifat relative. Apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam
kehidupan, tahun depan belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaran ialah
yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini. Tokoh filsafat pendidikan
Progresivis ini adalah John Dewey.
Filsafat
pendidikan Rekonstruksionis merupakan
variasi dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya
harus diperbaiki (Callahan, 1983). Mereka bercita - cita mengkonstruksi kembali
kehidupan manusia secara total.
Filsafat pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa
kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu
sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi
terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa
orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri.
Sejumlah filsafat pendidikan yang disebutkan
diatas akan menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut : (Ateng Sutisna,
1990)
1.Apakah pendidikan itu?
2.Apa yang hendak ia capai?
3.Bagaimana cara terbaik
merealisasi tujuan-tujuan itu?
6.Filsafat
Pendidikan di Indonesia
Ilmu pendidikan di samping
bersifat empiris, ia juga bersifat normatif. Bersifat normatif artinya
mengupayakan agar norma-norma tertentu dapat diinternalisasi dan dilaksanakan
oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Jadi ilmu pendidikan mengandung
unsur-unsur fakta dan upaya. Fakta akan membentuk teori penjelasan tentang cara
mendidik, sedangkan upaya akan membentuk kiat atau seni mensukseskan pendidikan
terutama dalam memasukkan norma-norma ke dalam kehidupan peserta didik.
Untuk bisa membentuk teori pendidikan Indonesia yang valid,
terlebih dahulu dibutuhkan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia yang
memadai. Filsafat ini akan menguraikan tentang :
1.Pengertian pendidikan yang
jelas, yang satu, dan berlaku di seluruh tanah air.
2.Tujuan pendidikan, yaitu
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang diwarnai oleh sila-sila Pancasila.
3.Model pendidikan, yang
membahas tentang model pendidikan di Indonesia yang tepat.
4.Cara mencapai tujuan, yaitu
segi teknik dan pendidikan itu sendiri.
D.Upaya
Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia
Upaya-upaya merumuskan filsafat pendidikan di Indonesia baru
dalam tahap perhatian. Jasin dan kawan-kawan (1994) melakukan penelitian
mengenai pandangan para pendidik terhadap pendidikan dengan respoden para
mahasiswa PGSD, S1, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli pendidikan di
Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik
sejumlah masalah bertalian dengan ilmu pendidikan,yaitu:
1.
Belum
jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
2.
Ilmu
pendidikan kurang dikembangkan.
3.
Ilmu
pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
4.
Belum
jelas apakah ilmu pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
5.
Struktur
ilmu pendidikan kurang dikenal.
6.
Belum
jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
E.Implikasi
Konsep Pendidikan
1.Filsafat pendidikan
Indonesia perlu segera diwujudkan agar ilmu pendidikan bercorak Indonesia lebih
mudah dibentuk.
2.Peranan dan pengembangan
sila-sila Pancasila pada diri peserta didik pada hakikatnya adalah pengembangan
afeksi.
3.Pendidikan Pancasila dan
pendidikan agama tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi satu dengan
yang lain.
4.Materi pendidkan afeksi
selain bersumber dari bidang studi yang membahas moral Pancasila dan ajaran
agama, sebaiknya dilengkapi dengan nilai-nilai dan adat-istiadat yang masih
hidup di masyarakat Indonesia serta budi pekerti luhur yang tetap dijunjung di
bumi Indonesia ini.
5.Metode mengembangkan afeksi
bisa dibagi dua yaitu :
·
Untuk
pendidikan afeksi yang berbentuk bidang studi, tekanan proses belajarnya adalah
pada aplikasi konsep-konsep yang dipelajari.
·
Untuk
pendidikan afeksi yang diselipkan pada bidang-bidang studi lain, pendidik cukup
menyinggung afeksi tertentu yang kebetulan tepat dimunculkan saat itu untuk
dipahami oleh peserta didik, dihayati dan dilaksanakan.
6.Evaluasi pendidikan afeksi
haruslah dilakukan secara nyata, diberi skor, dan dimasukkan ke dalam rapor
seperti halnya dengan bidang-bidang studi yang lain.
7.Dalam mengembngkan materi
pendidikan afeksi, sangat mungkin sumber materi itu berasal dari luar negeri.
8.Dalam rangka pengembangan
afeksi peserta didik, ada baiknya kondisi ke arah itu sengaja diciptakan,
antara lain dengan menghadirkan jauh lebih banyak budaya bangsa sendiri untuk
menetralkan pengaruh budaya asing yang memang sulit dibendung dalam abad
informasi dan global ini.
0 komentar: