1.
Bagan Bilangan
Penemuan objek matematika
terkadang melewati proses pemikiran yang “liar” dan pergulatan mental yang
melelahkan. Hal ini sempat beberapa kali mengundang pertanyaan filosofis bagi
para matematikawan. Memasuki abad ke 19 sebagian ahli matematika melihat landasan
filosofis matematika perlu untuk dikaji kembali. Penemuan bilangan imajiner
memainkan perananan penting dalam membuka teritorial pikiran baru yang
terlegitimasi secara matematis, namun menyisakan problem filosofis dan logika
yang tetap tak tersentuh. Bilangan imajiner sangat vital sebagai peralatan
matematika, yang dengannya teorema fundamental aljabar dapat dikukuhkan. Namun
penemuan, pengkonsepsian,
serta pengembangan bilangan imajiner telah
memberi corak dan warna baru dalam sejarah matematika dan logika, yang menurut
Cardano proses ini melibatkan “mental tortures” dan melewati jalan pikiran yang
oleh Bombelli disebut “wild thought.” Proses pergulatan mental dan pikiran ini
merupakan ciri dari perkembangan matematika di zaman Renaissance.
Setidaknya ada dua pandangan
filosofis tentang matematika yang masuk ke zaman Renaisscance. Dua
pandangan filosofis ini merupakan warisan para pemikir dan matematikawan Yunani
yang kemudian berkomunikasi dengan peradaban Arab. Yang pertama adalah
Aristotelianisme yang memandang matematika sebagai proses kreatif-transendental
pikiran manusia. Objek matematika dalam pandangan Aristotelianisme dapat
dibuktikan adanya melalui proses berpikir kreatif melalui tangga-tangga
berpikir yang naik berawal dari pikiran manusia (ascending from human mind),
yaitu proposisi aksioma, sampai di objek matematika melalui pembuktian
(teorema). Pandangan ini merupakan jawaban metodis terhadap pandangan filosofis
yang dikemukakan oleh gurunya, Plato. Pandangan yang kedua adalah Platonism, yang
memandang matematika sebagai hasil dari proses intuitif-transendental. Objek
matematika dalam pandangan Plato adalah realitas yang bebas dari pikiran
manusia (independent from human mind), namun tidak dapat dipisahkan
dengan teritorial yang berada di atasnya. Plato berkeyakinan bahwa matematika
(atau geometri pada masa itu) merupakan realitas imaterial yang legitimasinya
dibuktikan melalui proses intuitif-transendental dari realitas yang berada di
atasnya (descending from divine realm) dan sampai ke bawah bersesuaian
dengan realitas fisis.
Kedua pandangan filosofis ini
secara esensial aktif berkomunikasi memasuki zaman Renaissance di Eropa.
Hingga memasuki abad ke-20 para pengkaji fondasi matematika mulai merumuskan
batasan-batasan akal matematis yang bersumber dari pikiran manusia. Di samping
itu pula para matematikawan abad ke-20 meletakan kerangka landasan filosofis
matematika sebagai perluasan dari dua pandangan yang telah ada sebelumnya.
2. Bilangan Imajiner Sebagai Peralatan Matematis dan Aplikasinya
Dewasa ini bilangan imajiner
sudah tidak asing lagi digunakan dalam matematika, khususnya dalam analisis
kompleks. Analisis kompleks itu sendiri dapat dipandang sebagai penerapan
teori-teori kalkulus terhadap bilangan imajner. Tetapi apa sesungguhnya bilangan
imajiner ini? Apakah ia bilangan yang hanya ada dalam imajinasi, yang tidak
memiliki kesesuaiannya dengan realitas fisis? Sebagian orang mungkin masih
mempertanyakan legitimasi dari bilangan imajiner ini.
Dewasa ini keberadaan bilangan
imajiner sebagai objek maupun peralatan matematis sangat dirasakan manfaatnya
bagi dunia. Dalam dunia rekayasa, bilangan ini sering dipakai dalam mempelajari
prilaku aliran fluida di sekitar objek tertentu. Dalam elektromagnetika
bilangan imajiner digunakan dalam pemodelan gelombang. Sehingga jika bukan
karena penemuan i mungkin kita tidak bisa berkomuniaksi lewat telepon seluler,
atau mendengarkan radio. Bilangan imajiner adalah bagian penting dalam
mempelajari deret tak hingga (infinite series). Ia juga dipakai dalam
model-model matematika untuk mekanika quantum. Bilangan imajiner adalah
peralatan vital di dalam kalkulasi ketika membuat pemodelan. Dan akhirnya,
setiap persamaan polinomial akan mempunyai solusi apabila bilangan imajiner
(atau bilangan kompkes) dilibatkan. Jelasnya, kepentingan-kepentingan praktis
maupun teoritis itu dapat memberikan gambaran kenapa bilangan imajiner itu ada
atau tercipta.
Atas dasar alasan praktis
seperti di atas dapat dikatakan pada saat sekarang ini bahwa secara praktis,
bilangan imajiner tercipta disebabkan karena ia dibutuhkan, atau karena ia
merupakan peralatan matematika yang dibutuhkan. Sebagai contoh penyelesaikan
persamaan semisal
akan menemui jalan
buntu apabila di dalam matematika tidak dikenal konsep akar dua dari negatif
satu. Karena itu terciptalah bilangan imaginer yang lebih populer disimbolkan
dengan i (atau j dalam bidang kelistrikan), yang secara
matematis memiliki kuantitas yang bersesuaian dengan akar dua dari negatif
satu. Sehingga untuk mendapatkan solusi terhadap persamaan tadi, kita dapat
memulainya dengan suatu anggapan i sebagai akar dua dari negatif satu.
Namun anggapan ini belumlah menyentuh sisi filosofis penting dibalik munculnya
bilangan imajiner.
Dari segi notasinya, bilangan
imajiner adalah bilangan yang menakjubkan, setidaknya apabila kita
mengkuadratkannya maka ia menjadi bilangan riil. Dengan menggunakan notasi akar
dua dari negatif satu, yang disimbolkan dengan huruf i, persoalan akar
dari bilangan negatif dapat diselesaikan.
Lebih jauh penemuan bilangan
imaginer melewati beberapa fase pemikiran dan memerlukan waktu yang
berabad-abad lamanya sehingga para matematikawan bisa menerima keberadaan
bilangan baru ini. Pada bagian berikutnya saya akan mencoba mencatat beberapa
episode sejarah bagaimana bilangan imajiner itu ditemukan, serta bagaimana
bilangan imajiner itu dikonsepsikan serta dikembangkan.
3. Awal Penemuan dan Pengembangan Bilangan Imajiner
Sejarah penemuan bilangan
imaginer (imaginary numbers) dimulai pada tahun 1545 ketika seorang
matematikawan berkebangsaan Italia, Girolamo Cardano, menerbitkan buku yang
berjudul Ars Magna, di mana pada buku tersebut Cardano untuk pertama
kalinya menyatakan solusi aljabar terhadap persamaan kubik yang berbentuk
Persamaan ini untuk
kemudian dikenal sebagai persamaan kubik umum. Solusinya diselesaikan oleh
Cardano dengan terlebih dahulu mereformulasi persamaan kubik tersebut ke dalam
persamaan kubik lain yang tidak memiliki suku yang variabelnya dikuadratkan,
yaitu yang disebut dengan persamaan depressed cubic. Selanjutnya,
Cardano menggunakan formula Ferro-Tartaglia untuk memecahkan persaamaan depressed
cubic.
Selain sebagai matematikawan,
Cardano juga dikenal sebagai fisikawan dan astrologer yang bekerja kepada para
pembesar Eropa. Ia juga dikenal sebagai pejudi yang senang melakukan perjalanan
jauh dan pesta-pora. Namun di tengah-tengah kesibukannya itu, karier matematika
Cardano jauh lebih cemerlang sebagai aktor utama Renaissance. Di sisi
lain, ia telah memberikan kontribusi penting terhadap perkembaangan awal ilmu
probabilitas. Atas dasar kontribusi ini, ia telah dianggap sebagai bapak Ilmu
Probabilitas. Selain De Vita Properia Liber yang berisi risalah ilmu
probabilitas, ia juga menulis Ars Magna (Seni Agung). Di buku Ars
Magna inilah Cardano mulai menyadari posibilitas keberadaan bilangan
imajiner yang pertama kali muncul sebagai efek dari pengembangan penyelesaian
persamaan kubik tadi.
Persamaan kubik (cubic equations)
itu sendiri telah dipelajari oleh murid-murid Euclide di Alexandria. Archimedes
(287 – 212 SM), misalnya, menemukan bahwa ketika sebuah bola dipotong oleh
suatu bidang sehingga salah satu bagiannya memiliki volume dua kali bagian yang
lainnya, maka cara bola tersebut dipotong mengarah ke persamaan kubik berbentuk
:
.
Memasuki awal masa Renaissance,
para matematikawan Muslim telah banyak mewariskan cara menyelesaikan persamaan
matematika baik dengan pendekatan aritmetika maupun melalui metode geometris.
Namun matematikawan pada masa itu belum mampu untuk mendapatkan solusi aljabar
terhadap persamaan kubik. Omar Khayyam (1050 – 1123) sebagai contoh memberikan
ilustrasi terhadap pemecahan masalah persamaan kubik, namun hanya sampai di
akar bilangan positif. Notasi terhadap akar dua bilangan negatif masih terlalu
jauh dikonsepsikan mengingat konsep bilangan negatif sendiri masih asing waktu
itu, dan penggunaannya dalam matematika masih dicurigai. Para matematikawan di
masa itu agaknya masih sulit untuk menemukan korespondensi bilangan negatif
dengan realitas fisis, meskipun secara sistematis penggunaannya dalam
matematika telah dipresentasikan oleh Brahmagupta pada tahun 628.
Hingga pada tahun 1494, Luca
Pacioli pun mengumumkan bahwa tidak ada solusi aljabar umum terhadap persamaan
kubik. Orang pertama yang kemudian diketahui menemukan solusi aljabar terhadap
persamaan depressed cubic adalah Scipio del Ferro (1465-1526), yaitu
seorang guru besar di University of Bologna, Italia. Namun sayang, Ferro
merahasiakan temuan ini untuk beberapa waktu, hingga ia memberitahukan temuan
itu kepada Antonio Fior di saat menjelang wafatnya.
Setelah Cardano mereformulasi
persamaan kubik umum menjadi bentuk depressed cubic equation, masalah
selanjutnya adalah bagaimana menyelesaikan persamaan depressed cubic?
Untungnya solusi persamaan depressed Cubic telah diketahui oleh teman
Cardano yang bernama Niccolo Fontana yang dikenal juga dengan nama Tartaglia
(“Si Gagap”), karena bicaranya gagap. Dalam suatu kontes, Nicollo Fontana
ditantang oleh Fior untuk memecahkan permasalahan persamaan kubik. Namun diluar
dugaan, Tartaglia berhasil memecahkannya dengan solusi yang lebih umum dari
solusi yang diketahui Fior. Di lain waktu, Cardano membujuk Tartaglia agar
memberitahukan temuannya itu, dan Tartaglia pun memberitahukannya dengan syarat
agar temuan itu tidak dipublikasikan. Cardano menyetujuinya dan bersumpah tidak
akan mempublikasikannya. Namun Cardano melanggar janjinya, ketika pada tahun
1543 ia menemukan paper yang ditulis oleh Ferro untuk topik persamaan kubik.
Sejak itu munculah keinginan dalam dirinya itu untuk memformulasikan penanganan
yang lebih lengkap terhadap persamaan kubik umum. Lalu kemudian ia menuliskan
hasilnya dalam Ars Magna.
Maka dengan upaya ini Cardano
bisa menangani persamaan kubik umum melalui koneksi persamaan depressed
cubic dan solusinya dari Niccolo Fontana yang juga telah ditemukan 30 tahun
sebelumnya oleh Scipio del Ferro. Formula rahasia ini kemudian disebut formula
Ferro-Tartaglia.
Langkah-langkah penanganannya
adalah sebagai berikut. Untuk menurunkan persamaan kubik yang berbentuk :
………. (1)
Cardano memulainya dengan mensubstitusikan
terhadap persamaan
(1), yang menghasilkan bentuk :
………. (2)
Dengan b dan c yang bersesuaian :
Persamaan (2) disebut depressed cubic equation.
Jadi, apabila nilai x pada
persamaan depressed cubic ditemukan maka solusi terhadap persamaan kubik
umum juga bisa ditemukan. Untungnya, solusi terhadap persamaan depressed
cubic di atas telah didapatkan Cardano dari Tartaglia. Bentuk solusinya
adalah seperti ini :
………. (3)
Dengan formula Ferro-Tartaglia
ini, Cardano mendapatkan solusi terhadap persamaan kubik umum.
Pengembangan dari penyelesaian
persamaan kubik dengan koneksi persamaan depressed cubic serta formula
Ferro-Tartaglia selanjutnya memberi legitimasi bagi posibilitas eksistensi
bilangan imajiner. Meskipun problem matematika yang melibatkan akar bilangan
negatif sebenarnya sudah disadari sebelumnya, sebagai misal dari persamaan
kuadrat
yang solusinya
. Namun pada masa
Cardano konsep bilangan negatif masih diperlakukan dengan penuh curiga
mengingat pada saat itu masih sulit untuk menemukan kesesuaiannya dengan
realitas fisis. Sehingga munculnya akar dua dari bilangan negatif menambah
keasingan bagi bilangan itu sendiri. Cardano sendiri mengatakan proses
matematika dengan
melibatkan “mental
tortures,” dan ia pun menyimpulkan, “as subtle as it would be useless.”
Berikutnya, pada tahun 1637,
Rene Descartes membuat bentuk standar untuk bilangan kompleks yaitu a+bi.
Akan tetapi ia tidak menyukai bilangan ini. Ia mengasumsikan bahwa jika
bilangan ini ada, maka ia pasti bisa dipecahkan. Namun karena ia tidak
menemukan pemecahannya, maka ia tidak begitu berminat terhadap pengembangan
bilangan ini. Isaac Newton sepakat dengan Descartes. Namun Leibniz memberikan
komentar terhadap bilangan imajiner ini : “an elegant and wonderful resource
of the divine intellect, an unnatural birth in the realm of thought, almost an
amphibium between being and non-being.”
“Wild Thought”
Pada tahun 1572 Rafael Bombelli
kembali menyadari arti penting bilangan imajiner. Dalam buku risalah
Aljabarnya, Bombelli menunjukkan perlunya bilangan imajiner dilibatkan sebagai
suatu peralatan matematis yang berguna. Bombelli memberikan langkah baru bagi
pengembangan bilangan baru ini yang oleh Cardano dianggap “as refined as it is
useless.” Bombelli beranggapan bahwa formula Ferro-Tartaglia dapat
direformulasi ke dalam bentuk yang melibatkan kuantitas bilangan imajiner,
namun dengan jalan berpikir yang disebutnya “wild thought.”
Yang ia maksud “wild thought” ialah,
apabila persamaan depressed cubic (2) memiliki solusi riil, maka dua
bagian x pada persamaan Ferro-Tartaglia (3) bisa diekspresikan dalam bentuk
dan
, dimana u dan v adalah
bilangan riil.
Lalu apa relevansi “wild thought” ini terhadap
matematika? John H. Mathews dan Russell W. Howell memberikan ilustrasi langkah
berpikir Bombelli melalui contoh berikut ini.
Sebagai contoh, persamaan depressed cubic
yang mempunyai b = -15
dan c = -4. Dengan menerapkan formula Ferro-Tartaglia, didapatkan
atau dalam ekspresi lain
. Dengan
melewatkannya melalui “wild thought” Bombelli menunjukkan bahwa :
dan
. Yang apabila kedua
ruas dipangkatkan tiga menghasilkan :
dan
. Kemudian, dengan menerapkan identitas aljabar :
untuk
dan
. Hasilnya :
Hal yang sama juga dilakukan untuk bagian x lainnya
yaitu
.
Pada persamaan di atas tampak pikiran Bombelli bahwa :
dan
.
Bombelli kembali berpendapat bahwa u
dan v haruslah bilangan bulat, dan karena faktor bilangan bulat dari 2 hanya 2
dan 1, maka
maka ia menyimpulkan
bahwa
dan
yang diikuti dengan
atau
. Nilai u dan v yang
memenuhi adalah u = 2 dan v = 1.
Selanjutnya dengan memasukan nilai u
dan v didapatkan nilai x, yaitu x = 4. Jadi, proses pengeluaran quantitas riil
v dari kuantitas akar bilangan negatif serta dengan menempatkan quantitas akar
dua dari negatif satu di dalam formula itu dipandang oleh Bombelli sebagai
“wild thought.”
Untuk sampai kepada solusi riil ini
Bombelli berfikir melalui teritorial bilangan imajiner yang belum pernah
terpetakan sebelumnya. Sayangnya, trik berpikir ini tidak berlaku umum untuk
semua persamaan kubik, tetapi hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu
saja. Dalam risalah Aljabarnya, Bombelli menulis, “…and I too for a long
time was of the same opinion. The whole matter seemed to rest on sophistry
rather than on truth. Yet I sought so long, until I actually proved this to be
the case.“
4. Refresentasi Geometris dan Aljabar
Bilangan Imajiner
Pikiran liar Bombelli merangsang
orang dalam beberapa dekade berikutnya untuk mulai mempercayai keberadaan
bilangan imajiner, dan sebagian ahli matematika berupaya agar keberadaannya
menjadi lebih jelas, lebih dimengerti dan diterima. Salah satu cara agar
keberadaannya diterima dengan mudah adalah dengan menyatakannya dalam bentuk
grafik dua dimensi. Dalam kasus ini, sumbu x adalah untuk bilangan riil, dan
sumbu y untuk bilangan imajiner.
Ide pertama untuk menyatakan
bilangan kompleks dalam bentuk geometris bersumber dari John Wallis pada tahun
1673. Sayangnya ekspresi geometris awal terhadap bilangan kompleks mengarah ke
konsekuensi yang tidak diharapkan, yaitu
dinyatakan pada titik
yang sama dengan
. Namun setidaknya
representasi geometris ini memberikan konsepsi baru terhadap bilangan kompleks
sebagai “titik pada bidang.” Upaya ini kemudian diteruskan oleh Caspar Wessel,
Abbe Buee dan Jean Robert Argand.
Pada tahun 1732, matematikawan
berkebangsaan Swiss, Leonhard Euler mengadopsi gagasan representasi geometris
untuk solusi persamaan berbentuk
dan menyatakannya dalam
bentuk
. Euler juga adalah orang pertama yang menggunakan simbol i
untuk
. Di sisi lain, dalam
risalahnya Euler menulis, “…for we may assert that they are neither nothing,
not greater than nothing, nor less than nothing, which necessarily renders them
imaginary or impossible.“
Jelasnya, setelah ia memperlakukan
bilangan imajiner secara matematis dan formal, dan menunjukan bahwa i mempunyai
validitas matematis, pada akhirnya harus ia katakan bahwa eksistensi i dalam
realitas adalah impossible, atau paling tidak “mental reality” belum
mampu meletakan status ontologisnya.
Dua matematikawan lain yang turut
memberikan sumbangan penting terhadap pengembangan bilangan imajiner adalah
Augustin-Louis Cauchy (1789—1857) dan Carl Friedrich Gauss (1777 – 1855).
Cauchy menemukan beberapa teorema penting dalam bilangan kompleks, sedangkan
Gauss menggunakan bilangan kompleks sebagai peralatan penting dalam pembuktian
teorema fundamental dalam aljabar, yaitu terbukti bahwa melalui bilangan
kompleks, terdapat solusi untuk setiap persamaan polinomial berderajat n. Dalam
paper yang dikeluarkan tahun 1831, Gauss menyatakan representasi geometris
untuk bilangan kompleks x + iy dengan titik (x, y) dalam bidang kordinat. Ia
juga menjelaskan operasi-operasi aritmetika dengan bilangan kompleks ini.
Atas dasar usaha Gauss, bilangan
kompleks mulai disadari legitimasinya. Sebagian ahli matematika meyakini
keberadaan bilangan kompleks dan berusaha memahaminya, sebagian yang lain
tidak, dan sebagian lagi meragukannya. Pada tahun 1833 William Rowan Hamilton
menyatakan bilangan kompleks sebagai pasangan bilangan (a, b). Kendati
kelihatannya hanya sebuah ekspresi lain alih-alih a + ib, dengan maksud agar
lebih mudah ditangani melalui aritmetika. Usaha ini memicu Karl Weierstrass,
Hermann Schwarz, Richard Dedekind, Otto Holder, Henri Poincare, Eduard Study,
dan Sir Frank Macfarlane Burnet untuk merumuskan teori umum tentang bilangan
kompleks. Dan atas upaya August Möbius aplikasi bilangan kompleks ke dalam
geometri menjadi lebih jelas bentuk-bentuk formula transformasinya.
5. Genuine Logical Problems
Pada tahun 1831 Augustus DeMorgan
berkomentar dalam bukunya, On the Study and Difficulties of Mathematics,
“We have shown the symbol √(-1) to be void of
meaning, or rather self-contradictory and absurd. Nevertheless, by means of
such symbols, a part of algebra is established which is of great utility.“
Dari sudut pandang ilmu logika,
terdapat kontradiksi semisal identitas
apabila diterapkan
terhadap bilangan kompleks mengarah ke :
. Masalahnya adalah
(-1)(-1) = 1 dan . Tetapi
. Jadi identitas
tidak berlaku ketika a
dan b adalah bilangan negatif.
Di sisi lain notasi bilangan
imajiner mengarah ke classic fallacy, sebagai contoh Philip Spencer
memberikan 10 langkah pembuktian falasi 1=2 berkaitan dengan notasi bilangan
imajiner ini :
Dilihat dari sejarah penemuan dan
pengembangan bilangan imajiner, dan juga dari permasalahan logika di atas,
notasi bilangan imajiner memegang peranan penting sebagai peralatan matematis
dalam persoalan persamaan polinomial. Hal ini sebagaimana dikukuhkan oleh Gauss
melalui teorema fundamental aljabar. Tetapi seperti yang dicatat Euler dan
diperlihatkan oleh deMorgan, ia belum terlihat sebagai objek matematika dengan
status ontologis yang jelas.
Salah
satu bilangan yang banyak menarik perhatian khalayak ilmu pengetahuan karena
dianggap misterius adalah bilangan imajiner i, yakni akar pangkat dua
dari -1, atau sqrt(-1). Suatu bilangan biasanya menyatakan konsep
(pencacahan) yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Angka
1, 2, 3 .. dst dapat dipakai untuk mengatakan kita punya satu ekor kucing, dua
buah mangga, atau tiga batang coklat. Bilangan pecahan ½ kita pakai sewaktu
mangga yang kita makan tinggal separuh-nya. Demikian pula, bilangan negatif
bermakna bahwa kita punya hutang coklat di warung sebelah rumah, sedangkan nol
bisa berarti cicilan kita sudah lunas. Kita dapat mengatakan bahwa bilangan-bilangan
yang sehari-hari kita pakai tadi sebagai sesuatu yang konkrit. Lantas apa itu
arti dari sqrt(-1)? Apakah i juga konkrit? Yang jelas,
Matematikawan sudah sepakat menyebutnya sebagai bilangan imajiner, bukan riil.
Menurut
sejarah, i diperkenalkan ketika orang tidak dapat menemukan akar dari
polinomial tertentu. Polinomial orde dua atau persamaan kuadrat y = x2
-5x + 6 memiliki akar 2 dan 3, ini berarti bahwa penggantian
(substitusi) kedua bilangan ini pada x akan menghasilkan y yang
nilainya nol. Kesulitan muncul ketika kita mencari nilai x yang membuat
nol persamaan y = x2 + 1. Untuk menjawab pertanyaan
ini, terpaksalah sqrt(-1) dibuat ada dan orang menyebutnya sebagai
bilangan imajiner i.
Semula
bilangan i ini dipakai dikalangan Matematikawan saja. Kemudian Fisikawan
mendapatkan kejutan ketika Schrodinger memasukkan bilangan ini kedalam
persamaan gelombang-nya. Bahkan, belakangan bilangan ini dipakai juga dalam
bidang kerekayasaan (engineering). Karena dalam
kerekayasaan kita bergaul dengan dunia nyata, dunia yang konkrit, sering timbul
pertanyaan apakah i hanya sekedar konsep, ataukah obyek yang benar-benar
ada? Apakah obyek imajiner ini sekedar abstrak ataukah obyek yang konkrit?
Agar lebih
umum, kita akan meninjau bilangan kompleks, yaitu bilangan yang bisa dituliskan
sebagai z = x + iy. Bilangan ini terdiri dari bagian riil x
dan bagian imajiner y. Melalui uraian deret, Euler menemukan
hubungan antara eksponensial kompleks dengan fungsi trigonometri
eiw = cos(w) + i sin(w)
Dengan demikian, sebuah bilangan kompleks z
dapat dinyatakan dalam bentuk z = |z| eiArg(z),
dimana Arg(z) menyatakan sudut dari bilangan kompleks. Dalam
bidang kompleks, sudut ini diukur dari sumbu x-positif kearah berlawanan
jarum jam.Pada pelajaran Rangkaian Listrik (RL) dan Elektromagnetika (EM),
bilangan kompleks dipakai untuk menyatakan fasor. Penggunaannya disini
semata-mata hanya untuk memudahkan perhitungan. Dengan fasor, perhitungan yang
seharusnya dilakukan dengan kalkulus diferensial dapat diubah menjadi
perhitungan aritmetika biasa yang lebih mudah dilakukan. Jadi, dalam bidang
Teknik Elektro orang telah memakai bilangan kompleks untuk keperluan praktis.
Disamping RL dan EM, dari PSD (Pengolahan Sinyal Dijital)
kita mengetahui bahwa transform Fourier dari sinyal riil akan menghasilkan
deretan kompleks (yang berkonjugasi simetrik).
6. Bilangan Imajiner yang Penuh dengan Khayalan
Bilangan imajiner atau yang diwakili sebagai $i$ selalu muncul dalam
permasalahan matematika. Dari sekian konstanta matematika, $i$ adalah yang
paling misterius. Bayangkan saja, menurut definisi $i$ adalah akar kuadrat dari
-1, sedangkan kita ketahui nilai eksak dari operasi itu tidak mungkin
diperoleh.
Dalam matematika, $i$ sangat berguna dan membantu
dalam menyelesaikan masalah matematis yang rumit. Meskipun $i$ adalah imajiner,
imajinasi, atau khayalan, namun berperan penting dalam analisis matematika
lanjut. Berkhayal pun memang sangat bermanfaat. Seperti halnya kita ingin
memperoleh sesuatu, terkadang kita pun berkhayal untuk mendapatkannya. Ya, cara
kerja matematikawan pun serupa. Mereka berkhayal dengan dunia mereka, kemudian
mereka akhirnya menemukan solusi dari permasalahan matematika yang mereka
geluti. Dan khayalan-khayalan itu dilampiaskan melalui bilangan imajiner.
Dengan berkhayal kita bisa menciptakan imajinasi
yang kita miliki sesuai keinginan kita. Para matematikawan pun juga begitu.
Mereka berkhayal, apakah ada bilangan positif yang jika dipangkatkan oleh
bilangan lainnya maka menghasilkan bilangan negatif. Kelihatanya tidak mungkin.
Logika matematika kita tidak bisa menerima bahwa bilangan positif apabila
dipangkatkan maka akan menjadi bilangan negatif. Namun, dengan berkhayal
sesuatu yang mustahil dan tampak tidak mungkin bisa menjadi kenyataan. Inilah
yang dilakukan matematikawan dengan bilangan imajiner.
$e^{i\pi}=-1
7. Kesimpulan
1.Bilangan imajiner adalah bilangan yang mempunyai sifat i 2
= −1. Bilangan ini biasanya merupakan bagian dari bilangan kompleks. Selain bagian imajiner,
bilangan kompleks mempunyai bagian bilangan riil. Secara definisi, (bagian)
bilangan imajiner i
ini diperoleh dari penyelesaian persamaan kuadratik:
.
2.Bilangan imajiner dan/atau bilangan kompleks ini sering dipakai di
bidang teknik elektro dan elektronika untuk menggambarkan
sifat arus AC (listrik arus bolak-balik) atau untuk
menganalisa gelombang fisika yang menjalar ke arah sumbu x mengikuti:
), dengan j = −i.
Gambar
bilangan imajiner
Bibliografi
Bacaan online :
- History of Complex Numbers (also known as History of Imaginary Numbers or the History of i), http://rossroessler.tripod.com/
- Humanity and Imaginary Numbers: Why History is More Important than Math and Science, http://hubpages.com/hub/Humanity-and-Imaginary-Numbers-Why-History-is-More-Important-than-Math-and-Science
- Jyce, David. 1999. Complex numbers: the number i, http://www.clarku.edu/~djoyce/complex/numberi.html
- Mathews & Howell. 2006. The Origin of Complex Numbers, http://math.fullerton.edu/mathews/n2003/ComplexNumberOrigin.html
- Shaw, Amanda. 2007. God and Imaginary Numbers, First Things, http://www.firstthings.com/onthesquare/2007/09/god-and-imaginary-numbers
- Statemaster, Encyclopedia. Imaginary numbers, http://www.statemaster.com/encyclopedia/Imaginary-numbers
- Wikipedia. Complex Numbers, http://en.wikipedia.org/wiki/Complex_number
- http://matematiku.wordpress.com/2010/01/21/bilangan-imajiner-sejarah-dan-filosofinya/
- http://liendsy.student.fkip.uns.ac.id/files/2009/05/image0011.gif
- http://suksmono.wordpress.com/2008/04/21/apakah-yang-imajiner-itu-ada/di akses 20 juni 2011.
0 komentar: