twitter SMAN 4 Lahat

BAB II

“Penerapan pendidikan matematika realistic Indonesia melalui penggunaan alat peraga praktik miniature tendon air terhadap hasil belajar siswa di kelas X SMA Negeri 3 kota Manna”

Untuk menghindari adanya kesalahan persepsi terhadap judul penelitian ini, maka peneliti perlu menjelaskan beberapa batasan istilah seperti berikut.

1. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berpangkal dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan keterampilan proses matematisasi (process of doing mathematics), berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri yang pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan permasalahan baik secara individu maupun berkelompok. Pada pendekatan PMRI guru berperan sebagai fasilitator atau motivator sementara siswa berpikir, mengomunikasikan berbagai alasan, melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain (Zulkardi 2003:3).

2. Miniatur merupakan sebuah kata yang digunakan karena pada dasarnya cara kerja serta proses yang terjadi dalam alat peraga praktik miniatur tandon ini sama dengan tandon biasa, namun segalanya dibuat dalam skala yang lebih kecil dengan tujuan agar lebih efisien penggunaan dan penerapannya di dalam kelas.

3. Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia melalui alat peraga praktik miniatur tendon air dalam penelitian ini merupakan suatu strategi pembelajaran yang mengekspresikan langkah-langkah aktivitas belajar berpikir dan bernalar secara matematis dan kontekstual sehingga siswa mempunyai potensi melakukan penemuan kembali terhadap materi pelajaran yang telah dipelajarinya walaupun masih di bawah bimbingan guru, mengingat di kelas tidak banyak siswa yang mampu melakukannya sendiri secara mutlak.

4.

Metode Pembelajaran

Metode yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah metode pembelajaran dengan menerapkan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Metode PMRI dipilih dalam pembelajaran karena: (1) Menggunakan masalah kontekstual sebagai penerapan dan titik tolak darimana matematika yang diinginkan bisa muncul; (2) Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal, perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema, dan simbolisasi daripada hanya mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung; (3) Menggunakan konstribusi siswa, konstribusi yang besar pada proses pembelajaran diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal atau standar; (4) Interaktivitas, negosiasi secara eksplisit, intervensi, kerjasama, dan evaluasi sesame siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses pembelajaran secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jantung untuk mencapai matematika formal; (5) Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, pendekatan holistik yang menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dicapai secara terpisah namun keterkaitan dan keintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah yang berupa jawaban non formal (De Lange, 1987, 1996: Tressfer, 1991: Gravemejer, 1994 dalam Zulkardi 2003:5).

Selanjutnya Marpaung (2003:4) mengungkapkan beberapa ciri pendidikan matematika realistic adalah: (1) Pembelajaran berpusat pada siswa; (2) Siswa berlatih untuk aktif berpikir dan berbuat; (3) Pembelajaran dimulai dari masalah-masalah yang kontekstual atau nyata bagi siswa; (4) Siswa diberi kesempatan mengembangkan strategi belajarnya dengan berinteraksi dan bernegosiasi dengan kawan atau gurunya dan guru membantuya; (5) Siswa dibimbing pada pembentukkan konsep penyelesaian permasalahan; (6) Menekankan proses reinvensi atau rekonstruk; (7) Guru berperan sebagai fasilitator atau menejer kelas.

Tiga prinsip matematika realistic adalah ; (1) Menggunakan situasi yang berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika dan nyata terhadap kehidupan sehari-harinya; (2) Situasi yang berisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area penerapan dalam pembelajaran matematika haruslah beranjak dari keadaan yang real terhadap siswa sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal; (3) Peran pengembangan model merupakan jembatan bagi siswa dari situasi nyata ke situasi abstark atau dari informal matematika ke matematika formal, artitnya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah (De lange, 1987: Gravemeijer, 1994: Freudenthal, 1991 dalam Zulkardi, 2003:4).

Selain pemikiran diatas metode pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dipilih dalam penelitian ini karena PMRI bersesuaian dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam hal: (1) Titik awal pembelajaran dengan materi kontekstual; (2) Karena pendidikan matematika realistik memiliki banyak kesamaaan dengan sosio konstruktivisme dalam pembelajaran; (3) Sesuai dalam tujuan, materi, metode, dan evaluasi.

Hasil Belajar

Setelah seseorang mengalami kegiatan belajar maka akan mendapatkan suatu hasil belajar yang berupa suatu perubahan tingkah laku. Perubahan-perubahan yang terjadi usai belajar dapat berupa perubahan dalam aspek pengetahuan, aspek nilai, dan aspek keterampilan (Winkle, 1999). Sedangkan menurut Sardiman (1996:23) hasil belajar meliputi: (1) Hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif); (2) Hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif), dan; (3) Hal ihwal kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotorik).

Tiap-tiap proses pembelajaran akan selalu menghasilkan hasil belajar. Cara menilai hasil pembelajaran matematika pada umumnya melalui tes hasil belajar. Adapun tujuan diberikannya tes menurut Hudojo, (1990:22) adalah mengukur hasil belajar siswa setelah terjadi proses pembelajaran matematika serta untuk menentukan sampai sejauh mana pemahaman materi yang telah dipelajari.

Analisis saya :

1. Tahap Tinjauan pustaka kurang terprogram dengan baik, yaitu peneliti belum banyak menuliskan pengertian dan pendapat tentang pengertian PMRI sesuai dengan masalah yang di bahas dan melaksanakan tahap-tahap sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran dalam penerapan PMRI melalui penggunaan alat peraga praktik miniatur tandon air terhadap hasil belajar siswa,serta kurang relevan dalam penulisan tinjauan pustaka karena masih ada pendapat tentang peningkatan hasil belajar siswa walaupun ada pada masalah tetapi dalam hal ini lebih dilihat keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran Matematika melalui praktik yang diberikan.sehingga siswa dengan aktif mengakibatkan adanya peningkatan hasil yang akan dicapai.

2. Peneliti membuat pengelompokkan siswa untuk melakukan eksprimen baik secara individu maupun kelompok sudah tepat agar siswa menjadi lebih aktif dan diharapkan siswa dapat menemukan berbagai hal dalam pembelajaran baik kognitif maupun afektif.

Senin, 17 Oktober 2011 | 0 komentar |

0 komentar:

Posting Komentar